Jumat, 05 Juni 2009

ALIANSI RAKYAT INDONESIA SATU

Dasar Pemikiran

Belajar dari pengalaman empiris pada Pemilu Legislatif 9 April 2009 yang hingga kini masih menimbulkan dan menyisakan berbagai permasalahan dan pelanggaran, baik yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu maupun oleh para kontestan pemilu. Refleksi dari penyelenggaraan Pemilu Legislatif tersebut menunjukkan cerminan dan degradasi yang sangat dalam akan jati diri bangsa kita belajar mengaktualisasikan kaidah demokrasi walau sebatas formalitik-prosedural.

Rendahnya kualitas Pemilu Legislatif 2009 juga tercermin dari minimnya partisipasi pemilih. Dari sekitar 171.265.442 daftar pemilih tetap, hanya diperoleh suara sah sekitar 104.099.785 (60,78%); suara tidak sah 17.488.581 (15,6%) dari 111.588.366 yang menggunakan hak pilihnya; pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya sebesar 49.677.076 (29,01%). Jika dibandingkan dengan pemilu 2004 dengan jumlah suara sah sebanyak 76,66% dari total pemilih, maka terdapat penurunan partisipasi pemilih sekitar 16%.

Dari kecenderungan komposisi suara hasil pemilu legislatif tersebut, dalam perspektif memanfaatkan peluang dan memaksimalkan potensi suara pada pemilihan presiden dan wakil presiden pada 8 Juli 2009, maka terdapat sekitar 62.165.657 suara atau sekitar 36,2% suara yang berasal dari suara tidak sah dan suara pemilih yang tidak digunakan, harus digarap seoptimal mungkin untuk memenangkan JK-Wiranto sebagai Presiden dan Wakil Presiden.

Kerja-kerja politik mesin Partai dan relawan pemenangan JK-WIRANTO dalam bentuk penetrasi hingga ke tingkat basis dengan melakukan advokasi dan supervisi kepada segmentasi pemilih potensial tersebut harus dilakukan dengan cermat, sistematis dan bersifat massif. Pada fase penetrasi seperti ini diperlukan akselerasi, mobilitas dan kreatifitas tim pemenangan sebagai pemasar yang tangguh untuk menawarkan berbagai program pro rakyat dan berorientasi kepada peningkatan kesejahteraan serta kelak hadir suasana kehidupan yang lebih baik.

Paralel dengan fase penetrasi, tim pemenangan JK-WIRANTO secara efektif dapat mengaksentuasikan tagline : karakter dan citra positif pasangan JK-WIRANTO yang bermotto lebih cepat lebih baik sesuai dengan hati nurani.

Peranan tim pemenangan yang tak kalah pentingnya adalah mensosialisasikan JK-WIRANTO sebagai kombinasi pasangan paling ideal (birokrat dan militer) dan merepresentasikan keterwakilan secara sosio-geo-politik (luar Jawa dan Jawa). Sebagai Pasangan Capres-Cawapres Nusantara.

Pentingnya peran tim pemenangan sebagaimana digambarkan Andreas Breitner yang memenangkan pemilihan di Redensburg, Jerman dengan menyingkirkan kandidat favorit. Bahwa keberhasilannya berkat dukungan serta komitmen yang luar biasa dari tim pemenangannya yang bertindak berdasarkan analisis yang cermat terhadap situasi dan kondisi terkini. Illustrasi Andreas Breitner berkaitan dengan eksistensi tim pemenangan yang kredibel, dibangun dari pilar dan elemen masyarakat, seperti tokoh masyarakat berpengaruh, ulama, mantan birokrat, pengusaha, aktifis mahasiswa, pensiunan TNI, Polri, Ormas, akademisi, pemuda, buruh, petani dll.


Maksud dibentuk dan dideklarasikannya Aliansi Rakyat Indonesia Satu (Aliansi RI-1) adalah :
- mensinergikan potensi dan kinerja tim baik dengan mesin Partai pendukung maupun dengan tim-tim pemenangan pasangan JK-WIRANTO.
- menggalang, menjaring, mempeluas dan memperkuat basis dukungan publik untuk memenangkan pasangan JK-WIRANTO menjadi Presiden dan Wakil Presiden.
- Mengakselerasikan dan mensosialisasikan program pasangan JK-WIRANTO sebagai pasangan dengan kombinasi karakter pemimpin yang ideal dengan program yang berorientasi kepada kemandirian bangsa dan kesejahteraan rakyat.
Tujuan dibentuknya Aliansi Rakyat Indonesia Satu (Aliansi RI-1) adalah memenangkan pasangan JK-WIRANTO sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia pada Pilpres tanggal 8 Juli 2009.

Pendiri Aliansi RI-1 terdiri dari tokoh-tokoh Parpol, Ormas, LSM, Professional, Akademisi, Pengusaha, Tokoh Masyarakat / Tokoh Agama, Perempuan, Pemuda, Buruh dll, seperti :
1) H.Djafar Badjeber (unsur Hanura)
2) Idris Laena (unsur Golkar)
3) Yan M.Ali Asli (unsur PNI-M)
4) Miryam S. Haryani (unsur Proffesional dan Hanura)
5) Bahran Andang (unsur PBR)
6) Sugito (unsur LSM)
7) Hendry S. Tjandra (unsur Partai BARNAS)
8) Norman Hutajulu (unsur Gerakan Pemuda Ka’bah)
9) Andi Bohar Alam (unsur Hanura)
10) Habib Umar M.Al hamid (unsur Tokoh Agama&LSM)
11) Yuliarto (unsur PNI-M)
12) Ebiet Boy (unsur Pemuda Persatuan / PPP)
13) Erna S Widodo (unsur Akademisi)
14) Aminudin (unsur Tokoh Pemuda)
15) Anis Hasan (unsur Pengusaha)
16) L.M Samryn (unsur Akedimisi)
17) Rifat Saugi (unsur Pengusaha)
18) Rahman (unsur LSM/Muhammdiyah)
19) M.Zen (unsur PPP)

Minggu, 22 Februari 2009

Masa Depan Demokrasi di Indonesia


Bukanlah suatu kebetulan manakala Panitia Penyelenggara meminta saya untuk berbicara dan membahas suatu tema yang demikian penting dan aktual saat ini, yakni: tentang masa depan demokrasi di Pemilihan Umum (Pemilu) yang tengah memasuki masa kampanye, dan jika tidak ada aral melintang, Pemilu 2009 akan digelar pada Kamis, 9 April 2009 serentak di seluruh Indonesia
Saat musim Pemilu semacam ini, selain menjadi ajang bagi partai politik dan para calon legislatif (DPR, DPRD atau DPD) untuk meraih simpati dan dukungan masyarakat/konstituen sehingga beroleh kursi signifikan di DPR atau DPRD, juga sangat perlu dan relevan untuk diwacanakan mengenal model demokrasi masa depan yang dicita-citakan. Dengan demikian, Pemilu 2009 dapat juga dijadikan instrumen guna membangun format demokrasi masa depan.
Alasan penting lainnya mengapa sosok atau format demokrasi masa depan masih harus terus dikaji diikhtiarkan karena memang faktanya sampai sejauh ini masih dalam proses transisi atau pencarian format, yang terus terang masih belum ada titik terang. Bahkan makin lama, tampaknya makin sulit menemui titik terang. Secara jargon, kita memang sudah punya sistem demokrasi, yang disebut dengan demokrasi Pancasila. Namun seperti apa konseptualisasinya, tidak begitu jelas.
Perdebatan tak berkesudahan dan cenderung menjadi seperti debat kusir mengenai sistem demokrasi Pancasila kian menjadi tidak produktif dan menjadi suatu ironi, tatkala melihat dan merasakan praktek-praktek demokrasi di Indonesia sepertinya makin jauh dari model demokrasi Pancasila. Banyak kalangan menilai, demokrasi yang berkembang dan berjalan di Indonesia ini masuk dalam kategori demokrasi liberal, bahkan implementasinya menjadi jauh lebih liberal dari Negara-negara yang selama ini menjadi pelopor dan penggerak demokrasi liberal.
Meskipun system, format dan praktek demokrasi di Indonesia masih carut marut, sebagai bagian integral dari masyarakat dan bangsa Indonesia dan masuk dalam kategori the creative minority oleh karena humanitasnya di dunia akademik, tentu kita tidak boleh menyerah. Melainkan harus terus berikhtiar. Bahkan dengan posisi humanitasnya sebagai kaum intelektual, mahasiswa dan akademisinya harus berada di garda terdepan dalam membangun sistem dan format demokrasi di Indonesia masa depan. Terobosan dan pemikiran cerdas sangat dibutuhkan untuk memecah kebuntuan dan bahkan kejenuhan, seperti sekarang ini.

Jalan Terjal

Dalam masa pencarian tersebut, pengalaman di banyak Negara yang berupaya membangun model demokrasinya, tidak ada jalan yang mulus, melainkan jalan yang terjal dan penuh kerikil. Dari berbagai pengalaman itu membuktikan, ada negara yang berhasil keluar dari krisis demokrasi sehingga mewujud menjadi bangsa yang demokrasinya terkonsolidasi. Namun tidak sedikit pula yang gagal, dan akhirnya bangsa terus mengalami konflik berkepanjangan sebagai akibat tidak tercapainya konsolidasi demokrasi.
Kenapa ada bangsa yang berhasil mewujudkan konsolidasi, namun tidak sedikit pula yang gagal? Diantara jawabannya adalah, pada bangsa-bangsa yang berhasil melakukan konsolidasi demokrasi karena bangsa tersebut melakukannya secara serius, komprehensif serta didukung oleh keteladanan elit politik. Selain juga dibarengi dengan penegakan hukum yang konsisten terhadap siapapun yang melakukan perbuatan tercela, seperti melakukan KKN, serta terjadinya perbaikan ekonomi masyarakat secara signifikan.
Sementara pada bangsa-bangsa yang gagal dalam berupaya membangun demokrasi, disebabkan tiadanya keteladanan dari elit politik, tidak seriusnya penguasa melaksanakan penegakan hukum tidak dilaksanakan secara konsisten. Kebanyakan elit penguasa , hanya terlihat serius dalam membangun demokrasi pada tahap permulaan, namun seiring dengan berjalannya roda pemerintahan, elit penguasa kembali terjerambabkesalahan lama yang pernah dilakukan regim sebelumnya.
Pun demikian, kalangan politisi di parlemen. Mereka banyak yang tidak melaksanakan fungsi dan tugasnya dengan tanggung jawab, dan tidak bekerja secara sungguh-sungguh untuk menyuarakan kepentingan masyarakat. Sebaliknya banyak ditemukan, anggota perlemen yang cenderung memperkaya diri sendiri, demi kepentingan diri sendiri dan kelompoknya, sehingga banyak diantara mereka harus berurusan dengan penegak hukum. Bahkan diantaranya harus mendekam di hotel prodeo.
Pada saat yang sama, kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat mengalami stagnasi dan kemunduran. Yang akhirnya elit penguasa tersebut kembali ditumbangkan oleh kelompok-kelompok kritis, khususnya mahasiswa; baik dilakukan dengan jalan ekstra parlementer atau kudeta atau melalui suksesi secara demokratis: Pemilu. Akibatnya, ikhtiar mewujudkan konsolidasi demokrasi berjalan tertatih-tatih dan seringkali harus dari nol karena umumnya masing-masing presiden terpilih mempunyai cara berbeda dalam membangun system dan format demokrasinya.

Belajar dari Sejarah
Dengan berbagai ilustrasi diatas, maka pertanyaanya kemudian adalah sebagai berikut; (1) Dimanakah tempat Indonesia dalam upaya membangun demokrasi yang diharapkan, (2) Apakah Indonesia kini sudah berada dalam jalur yang benar untuk menemukan dan melaksanakan suatu model demokrasi sebagaimana yang diharapkan oleh para founding father dan masyarakat Indonesia? (3) Bagaimana caranya agar bangsa ini keluar dari krisis, serta memungkinkan momentum Pemilu 2009 dapat dijadikan sebagai upaya memperbaiki masa depan politik Indonesia?
Kesempatan untuk membangun suatu model demokrasi ideal telah diperoleh oleh bangsa Indonesia. Peralihan dari regim Orde Lama kepada regim Orde Baru harus dianggap sebagai suatu peluang bagi regim Orde Baru untuk meletakkan dasar-dasar uang kokoh dalam membangun demokrasi ideal. Namun, tampaknya hal tersebut tidak dapat dilakukan secara baik dan bertanggungjawab.
Regim Orde Baru hanya mampu melakukan hal tersebut di awal-awal regim tersebut berkuasa, namun setelah itu regim Orde Baru kembali terjerambab ke dalam kategori regim otoriter. Sehingga sistem politik yang berkembang di masa Orde Baru tidak lagi bisa disebut sebagai sistem politik yang demokratis, melainkan sistem politik otoriter. Sistem politik yang berkembang saat regim Orde Baru disebut dengan jargon demokrasi Pancasila. Namun demikian, isi dan prakteknya sebenarnya lebih condong kepada model sistem demokrasi fasis atau diktator.
Sementara itu, institusi partai politik termasuk para anggota parlemennya, tidak bisa bekerja sesuai dengan fungsi dan perannya. Sebaliknya, parlemen cenderung dikendalikan oleh kekuatan birokrasi dan militer yang remote controlnya dikendalikan oleh Presiden Soeharto, yang juga berfungsi sebagai Ketua Dewan Pembina Golkar. Sehingga di masa Orde Baru, partai politik benar-benar mengalami kematian perdata.
Otoritarisme regim Orde Baru tersebut bukan berarti tidak ada kebaikannya, sebab setiap sistem mempunyai kelebihan dan kekurangan.
Kelebihan dari regim Orde Baru (jika kita mau berkata jujur) terletak pada terwujudnya stabilitas politik yang relatif terjamin. Kebutuhan masyarakat akan sembako tersedia dengan harga yang relatif terjangakau, meskipun kesenjangan antara yang kaya dengan yang miskin demikian tinggi di masa Orde Baru.
Sedikitnya jumlah partai politik (Golkar, PPP dan PDI) membuat kompetisi politik relatif tidak tajam, seperti terjadi saat ini dimana jumlah partai politiknya saja mencapai 38 partai politik. Oleh banyak kalangan, dibandingkan dengan manfaatnya bagi sebesar-besarnya kepentingan masyarakat, regim Orde Baru dianggap lebih banyak mudlaratnya karena hanya menguntungkan segelintir orang sehingga akhirnya muncul gelombang reaksi kolektif masyarakat untuk menumbangkan regim Orde Baru.
Dan ternyata setiap regim otoriter, bagaimanapun hebatnya dipertahankan, cepat atau lambat akan ambruk, sebagaimana dialami oleh regim Orde Baru yang harus ambruk di akhir 90-an, setelah sekitar 30 tahun berkuasa di panggung politik nasional. Ambruknya regim Orde Baru disebabkan terjadinya krisis multi dimensional, baik krisis ekonomi, politik, krisis pemerintahan, krisis moral dan sebagainya yang bermuara kepada krisis legitimasi kepemimpinan Soeharto.

Tantangan dan Harapan

Dengan tumbangnya regim Orde Baru, memunculkan ekspektasi baru bagi sebagian besar masyarakat akan lahirnya suatu orde yang lebih baik, yang kemudian disebut dengan Orde atau Era Reformasi. Sebagian ekspektasi tersebut dapat diwujudkan oleh elit politik, terutama dalam hal kebebasan berpolitik. Namun demikian, pembangunan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat tidak mengalami perbaikan signifikan, bahkan dalam beberapa hal mengalami kemunduran.
Khusus di era pemerintahan duet Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla (JK) sebagai presiden dan wakil presiden, terdapat beberapa tantangan serius, diantaranya: Pertama, kepemimpinan nasional sekarang tidak atau belum dapat bekerja efektif. Presiden SBY dinilai figur peragu dalam mengambil keputusan atau kebijakan, cenderung menebar pesona daripada kinerja, tidak berani mengambil resiko dan sebagainya.
Kedua, tingkat kesejahteraan masyarakat makin menurun. Hal ini dibuktikan dengan tetap tingginya angka kemiskinan, membludaknya angka pengangguran, buruknya pelayanan politik, kelangkaan minyak tanah (mitan), melambunganya harga-harga sembako dan sebagainya.
Ketiga, kinerja partai politik dan anggota parlemen makin jauh dari harapan. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya anggota parlemen yang diperkarakan secara hukum serta banyaknya anggota parlemen yang tidak berkualitas, tidak disiplin (banyak bolos, cendrung memperkaya diri sendiri) dan sebagainya. Jika dikalkulasi, menurut Idrus Marhan, Anggota DPR dalam desertasinya untuk meraih gelar Doktor di UGM, 60 persen Anggota DPR sekarang tidak berkualitas.
Keempat, secara sistem, mungkin demokrasi yang sekarang ini berkembang di Indonesia dapat dikategorikan sebagai sistem demokrasi liberal, meskipun bisa diberi label dengan apa saja, termasuk dinamakan sistem demokrasi Pancasila. Namun yang jelas, dalam prakteknya sudah demikian liberal sehingga banyak orang mengatakan sistem dan praktek demokrasi di Indonesia kini sudah kebeblasan.
Kelima, sebagai akibat dari keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang merevisi Pasal 124 dari UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR dan DPRD dan DPD, maka caleg terpilih pada 2009 tidak lagi berdasarkan nomor urut, melainkan suara terbanyak. Secara kasat mata, sistem ini terlihat demokratis dan berkeadilan. Namun jika dialami secara substansial, sistem ini mengandung implikasi negatif dimana sistem ini membuka peluang caleg terpilih hanya berkantong tebal atau mengendalikan popularitas.
Dalam politik Indonesia saat ini seolah popularitasnya menjadi dewa atau agama baru dan modal uang menjadi segala-galanya. Padahal yang tidak disadari adalah, jika caleg terpilih hanya bermodalkan popularitas dan uang, bukan tak mungkin mengakibatkan terjadinya ekonomisasi lembaga parlemen oleh wakil-wakil rakyat untuk kepentingan memperkaya diri sendiri, yang jauh dari kepentingan masyarakat.
Yang jelas, penetapan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak, telah mengakibatkan rivalitas antar caleg dalam meraih dukungan atau simpati dari masyarakat demikian tajam.

Momentum Pemilu 2009

Seperti telah disinggung, jalan untuk membangun konsolidasi demokrasi bukanlah hal yang ringan dan mudah ditaklukan. Apalagi harus diingat, terkadang tantangan tersebut justru datang dari orang atau kelompok-kelompok kepentingan yang berjuang untuk kepentingannya (ekonomi) namun dengan membonceng isu demokratisasi. Dalam situasi ini, kita memang harus pandai dan cermat terhadap elit politik dalam menilai mana elit politik yang benar-benar berjuang untuk menegakkan demokrasi, dan mana yang sekedar memanfaatkan isu demokratisasi namun dengan kepentingan pragmatis.
Sebagai bangsa dan masyarakat yang sudah bersepakat untuk memperbaiki bangsa ini melalui jalur demokrasi, maka instrumen Pemilu menjadi pilihan utamanya. Hal ini disebabkan karena Pemilu mempunyai fungsi untuk memperbaharui sistem politik, regenerasi wakil-wakil rakyat di parlemen, pendidikan politik masyarakat, dan juga suksesi kepemimpinan nasional (Pemilu Presiden). Karena itu, perbaikan sistem dan praktek demokrasi sangat ideal dimulai melalui jalur Pemilu 2009.
Sekali lagi, bangsa ini mempunyai kesempatan untuk memperbaiki kualitas bangsa ini, melalui jalan Pemilu. Kesempatan emas ini seyogianya tidak boleh diasia-siakan oleh masyarakat. Karena menunggu waktu lima tahun ke depan, merupakan jangka waktu yang lama. Lebih-lebih mengingat tantangan ke depan, termasuk krisis global, bisa membuat bangsa ini makin terpuruk.
Jika kita sepakat Pemilu menjadi instrumen untuk memperbaiki nasib bangsa, maka anjuran untuk memilih wakil-wakil rakyat yang bakal duduk di parlemen (DPR,DPRD dan DPD) haruslah orang yang mempunyai visi yang jauh ke depan, integritas pribadi yang kuat dan bersih, komitmen kerakyatan yang kuat, track record yang teruji dan sebagainya, suatu keniscayaan. Wallahu alam bissawab



Jakarta, 24 Januari 2009