Jumat, 05 Juni 2009

ALIANSI RAKYAT INDONESIA SATU

Dasar Pemikiran

Belajar dari pengalaman empiris pada Pemilu Legislatif 9 April 2009 yang hingga kini masih menimbulkan dan menyisakan berbagai permasalahan dan pelanggaran, baik yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu maupun oleh para kontestan pemilu. Refleksi dari penyelenggaraan Pemilu Legislatif tersebut menunjukkan cerminan dan degradasi yang sangat dalam akan jati diri bangsa kita belajar mengaktualisasikan kaidah demokrasi walau sebatas formalitik-prosedural.

Rendahnya kualitas Pemilu Legislatif 2009 juga tercermin dari minimnya partisipasi pemilih. Dari sekitar 171.265.442 daftar pemilih tetap, hanya diperoleh suara sah sekitar 104.099.785 (60,78%); suara tidak sah 17.488.581 (15,6%) dari 111.588.366 yang menggunakan hak pilihnya; pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya sebesar 49.677.076 (29,01%). Jika dibandingkan dengan pemilu 2004 dengan jumlah suara sah sebanyak 76,66% dari total pemilih, maka terdapat penurunan partisipasi pemilih sekitar 16%.

Dari kecenderungan komposisi suara hasil pemilu legislatif tersebut, dalam perspektif memanfaatkan peluang dan memaksimalkan potensi suara pada pemilihan presiden dan wakil presiden pada 8 Juli 2009, maka terdapat sekitar 62.165.657 suara atau sekitar 36,2% suara yang berasal dari suara tidak sah dan suara pemilih yang tidak digunakan, harus digarap seoptimal mungkin untuk memenangkan JK-Wiranto sebagai Presiden dan Wakil Presiden.

Kerja-kerja politik mesin Partai dan relawan pemenangan JK-WIRANTO dalam bentuk penetrasi hingga ke tingkat basis dengan melakukan advokasi dan supervisi kepada segmentasi pemilih potensial tersebut harus dilakukan dengan cermat, sistematis dan bersifat massif. Pada fase penetrasi seperti ini diperlukan akselerasi, mobilitas dan kreatifitas tim pemenangan sebagai pemasar yang tangguh untuk menawarkan berbagai program pro rakyat dan berorientasi kepada peningkatan kesejahteraan serta kelak hadir suasana kehidupan yang lebih baik.

Paralel dengan fase penetrasi, tim pemenangan JK-WIRANTO secara efektif dapat mengaksentuasikan tagline : karakter dan citra positif pasangan JK-WIRANTO yang bermotto lebih cepat lebih baik sesuai dengan hati nurani.

Peranan tim pemenangan yang tak kalah pentingnya adalah mensosialisasikan JK-WIRANTO sebagai kombinasi pasangan paling ideal (birokrat dan militer) dan merepresentasikan keterwakilan secara sosio-geo-politik (luar Jawa dan Jawa). Sebagai Pasangan Capres-Cawapres Nusantara.

Pentingnya peran tim pemenangan sebagaimana digambarkan Andreas Breitner yang memenangkan pemilihan di Redensburg, Jerman dengan menyingkirkan kandidat favorit. Bahwa keberhasilannya berkat dukungan serta komitmen yang luar biasa dari tim pemenangannya yang bertindak berdasarkan analisis yang cermat terhadap situasi dan kondisi terkini. Illustrasi Andreas Breitner berkaitan dengan eksistensi tim pemenangan yang kredibel, dibangun dari pilar dan elemen masyarakat, seperti tokoh masyarakat berpengaruh, ulama, mantan birokrat, pengusaha, aktifis mahasiswa, pensiunan TNI, Polri, Ormas, akademisi, pemuda, buruh, petani dll.


Maksud dibentuk dan dideklarasikannya Aliansi Rakyat Indonesia Satu (Aliansi RI-1) adalah :
- mensinergikan potensi dan kinerja tim baik dengan mesin Partai pendukung maupun dengan tim-tim pemenangan pasangan JK-WIRANTO.
- menggalang, menjaring, mempeluas dan memperkuat basis dukungan publik untuk memenangkan pasangan JK-WIRANTO menjadi Presiden dan Wakil Presiden.
- Mengakselerasikan dan mensosialisasikan program pasangan JK-WIRANTO sebagai pasangan dengan kombinasi karakter pemimpin yang ideal dengan program yang berorientasi kepada kemandirian bangsa dan kesejahteraan rakyat.
Tujuan dibentuknya Aliansi Rakyat Indonesia Satu (Aliansi RI-1) adalah memenangkan pasangan JK-WIRANTO sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia pada Pilpres tanggal 8 Juli 2009.

Pendiri Aliansi RI-1 terdiri dari tokoh-tokoh Parpol, Ormas, LSM, Professional, Akademisi, Pengusaha, Tokoh Masyarakat / Tokoh Agama, Perempuan, Pemuda, Buruh dll, seperti :
1) H.Djafar Badjeber (unsur Hanura)
2) Idris Laena (unsur Golkar)
3) Yan M.Ali Asli (unsur PNI-M)
4) Miryam S. Haryani (unsur Proffesional dan Hanura)
5) Bahran Andang (unsur PBR)
6) Sugito (unsur LSM)
7) Hendry S. Tjandra (unsur Partai BARNAS)
8) Norman Hutajulu (unsur Gerakan Pemuda Ka’bah)
9) Andi Bohar Alam (unsur Hanura)
10) Habib Umar M.Al hamid (unsur Tokoh Agama&LSM)
11) Yuliarto (unsur PNI-M)
12) Ebiet Boy (unsur Pemuda Persatuan / PPP)
13) Erna S Widodo (unsur Akademisi)
14) Aminudin (unsur Tokoh Pemuda)
15) Anis Hasan (unsur Pengusaha)
16) L.M Samryn (unsur Akedimisi)
17) Rifat Saugi (unsur Pengusaha)
18) Rahman (unsur LSM/Muhammdiyah)
19) M.Zen (unsur PPP)

Minggu, 22 Februari 2009

Masa Depan Demokrasi di Indonesia


Bukanlah suatu kebetulan manakala Panitia Penyelenggara meminta saya untuk berbicara dan membahas suatu tema yang demikian penting dan aktual saat ini, yakni: tentang masa depan demokrasi di Pemilihan Umum (Pemilu) yang tengah memasuki masa kampanye, dan jika tidak ada aral melintang, Pemilu 2009 akan digelar pada Kamis, 9 April 2009 serentak di seluruh Indonesia
Saat musim Pemilu semacam ini, selain menjadi ajang bagi partai politik dan para calon legislatif (DPR, DPRD atau DPD) untuk meraih simpati dan dukungan masyarakat/konstituen sehingga beroleh kursi signifikan di DPR atau DPRD, juga sangat perlu dan relevan untuk diwacanakan mengenal model demokrasi masa depan yang dicita-citakan. Dengan demikian, Pemilu 2009 dapat juga dijadikan instrumen guna membangun format demokrasi masa depan.
Alasan penting lainnya mengapa sosok atau format demokrasi masa depan masih harus terus dikaji diikhtiarkan karena memang faktanya sampai sejauh ini masih dalam proses transisi atau pencarian format, yang terus terang masih belum ada titik terang. Bahkan makin lama, tampaknya makin sulit menemui titik terang. Secara jargon, kita memang sudah punya sistem demokrasi, yang disebut dengan demokrasi Pancasila. Namun seperti apa konseptualisasinya, tidak begitu jelas.
Perdebatan tak berkesudahan dan cenderung menjadi seperti debat kusir mengenai sistem demokrasi Pancasila kian menjadi tidak produktif dan menjadi suatu ironi, tatkala melihat dan merasakan praktek-praktek demokrasi di Indonesia sepertinya makin jauh dari model demokrasi Pancasila. Banyak kalangan menilai, demokrasi yang berkembang dan berjalan di Indonesia ini masuk dalam kategori demokrasi liberal, bahkan implementasinya menjadi jauh lebih liberal dari Negara-negara yang selama ini menjadi pelopor dan penggerak demokrasi liberal.
Meskipun system, format dan praktek demokrasi di Indonesia masih carut marut, sebagai bagian integral dari masyarakat dan bangsa Indonesia dan masuk dalam kategori the creative minority oleh karena humanitasnya di dunia akademik, tentu kita tidak boleh menyerah. Melainkan harus terus berikhtiar. Bahkan dengan posisi humanitasnya sebagai kaum intelektual, mahasiswa dan akademisinya harus berada di garda terdepan dalam membangun sistem dan format demokrasi di Indonesia masa depan. Terobosan dan pemikiran cerdas sangat dibutuhkan untuk memecah kebuntuan dan bahkan kejenuhan, seperti sekarang ini.

Jalan Terjal

Dalam masa pencarian tersebut, pengalaman di banyak Negara yang berupaya membangun model demokrasinya, tidak ada jalan yang mulus, melainkan jalan yang terjal dan penuh kerikil. Dari berbagai pengalaman itu membuktikan, ada negara yang berhasil keluar dari krisis demokrasi sehingga mewujud menjadi bangsa yang demokrasinya terkonsolidasi. Namun tidak sedikit pula yang gagal, dan akhirnya bangsa terus mengalami konflik berkepanjangan sebagai akibat tidak tercapainya konsolidasi demokrasi.
Kenapa ada bangsa yang berhasil mewujudkan konsolidasi, namun tidak sedikit pula yang gagal? Diantara jawabannya adalah, pada bangsa-bangsa yang berhasil melakukan konsolidasi demokrasi karena bangsa tersebut melakukannya secara serius, komprehensif serta didukung oleh keteladanan elit politik. Selain juga dibarengi dengan penegakan hukum yang konsisten terhadap siapapun yang melakukan perbuatan tercela, seperti melakukan KKN, serta terjadinya perbaikan ekonomi masyarakat secara signifikan.
Sementara pada bangsa-bangsa yang gagal dalam berupaya membangun demokrasi, disebabkan tiadanya keteladanan dari elit politik, tidak seriusnya penguasa melaksanakan penegakan hukum tidak dilaksanakan secara konsisten. Kebanyakan elit penguasa , hanya terlihat serius dalam membangun demokrasi pada tahap permulaan, namun seiring dengan berjalannya roda pemerintahan, elit penguasa kembali terjerambabkesalahan lama yang pernah dilakukan regim sebelumnya.
Pun demikian, kalangan politisi di parlemen. Mereka banyak yang tidak melaksanakan fungsi dan tugasnya dengan tanggung jawab, dan tidak bekerja secara sungguh-sungguh untuk menyuarakan kepentingan masyarakat. Sebaliknya banyak ditemukan, anggota perlemen yang cenderung memperkaya diri sendiri, demi kepentingan diri sendiri dan kelompoknya, sehingga banyak diantara mereka harus berurusan dengan penegak hukum. Bahkan diantaranya harus mendekam di hotel prodeo.
Pada saat yang sama, kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat mengalami stagnasi dan kemunduran. Yang akhirnya elit penguasa tersebut kembali ditumbangkan oleh kelompok-kelompok kritis, khususnya mahasiswa; baik dilakukan dengan jalan ekstra parlementer atau kudeta atau melalui suksesi secara demokratis: Pemilu. Akibatnya, ikhtiar mewujudkan konsolidasi demokrasi berjalan tertatih-tatih dan seringkali harus dari nol karena umumnya masing-masing presiden terpilih mempunyai cara berbeda dalam membangun system dan format demokrasinya.

Belajar dari Sejarah
Dengan berbagai ilustrasi diatas, maka pertanyaanya kemudian adalah sebagai berikut; (1) Dimanakah tempat Indonesia dalam upaya membangun demokrasi yang diharapkan, (2) Apakah Indonesia kini sudah berada dalam jalur yang benar untuk menemukan dan melaksanakan suatu model demokrasi sebagaimana yang diharapkan oleh para founding father dan masyarakat Indonesia? (3) Bagaimana caranya agar bangsa ini keluar dari krisis, serta memungkinkan momentum Pemilu 2009 dapat dijadikan sebagai upaya memperbaiki masa depan politik Indonesia?
Kesempatan untuk membangun suatu model demokrasi ideal telah diperoleh oleh bangsa Indonesia. Peralihan dari regim Orde Lama kepada regim Orde Baru harus dianggap sebagai suatu peluang bagi regim Orde Baru untuk meletakkan dasar-dasar uang kokoh dalam membangun demokrasi ideal. Namun, tampaknya hal tersebut tidak dapat dilakukan secara baik dan bertanggungjawab.
Regim Orde Baru hanya mampu melakukan hal tersebut di awal-awal regim tersebut berkuasa, namun setelah itu regim Orde Baru kembali terjerambab ke dalam kategori regim otoriter. Sehingga sistem politik yang berkembang di masa Orde Baru tidak lagi bisa disebut sebagai sistem politik yang demokratis, melainkan sistem politik otoriter. Sistem politik yang berkembang saat regim Orde Baru disebut dengan jargon demokrasi Pancasila. Namun demikian, isi dan prakteknya sebenarnya lebih condong kepada model sistem demokrasi fasis atau diktator.
Sementara itu, institusi partai politik termasuk para anggota parlemennya, tidak bisa bekerja sesuai dengan fungsi dan perannya. Sebaliknya, parlemen cenderung dikendalikan oleh kekuatan birokrasi dan militer yang remote controlnya dikendalikan oleh Presiden Soeharto, yang juga berfungsi sebagai Ketua Dewan Pembina Golkar. Sehingga di masa Orde Baru, partai politik benar-benar mengalami kematian perdata.
Otoritarisme regim Orde Baru tersebut bukan berarti tidak ada kebaikannya, sebab setiap sistem mempunyai kelebihan dan kekurangan.
Kelebihan dari regim Orde Baru (jika kita mau berkata jujur) terletak pada terwujudnya stabilitas politik yang relatif terjamin. Kebutuhan masyarakat akan sembako tersedia dengan harga yang relatif terjangakau, meskipun kesenjangan antara yang kaya dengan yang miskin demikian tinggi di masa Orde Baru.
Sedikitnya jumlah partai politik (Golkar, PPP dan PDI) membuat kompetisi politik relatif tidak tajam, seperti terjadi saat ini dimana jumlah partai politiknya saja mencapai 38 partai politik. Oleh banyak kalangan, dibandingkan dengan manfaatnya bagi sebesar-besarnya kepentingan masyarakat, regim Orde Baru dianggap lebih banyak mudlaratnya karena hanya menguntungkan segelintir orang sehingga akhirnya muncul gelombang reaksi kolektif masyarakat untuk menumbangkan regim Orde Baru.
Dan ternyata setiap regim otoriter, bagaimanapun hebatnya dipertahankan, cepat atau lambat akan ambruk, sebagaimana dialami oleh regim Orde Baru yang harus ambruk di akhir 90-an, setelah sekitar 30 tahun berkuasa di panggung politik nasional. Ambruknya regim Orde Baru disebabkan terjadinya krisis multi dimensional, baik krisis ekonomi, politik, krisis pemerintahan, krisis moral dan sebagainya yang bermuara kepada krisis legitimasi kepemimpinan Soeharto.

Tantangan dan Harapan

Dengan tumbangnya regim Orde Baru, memunculkan ekspektasi baru bagi sebagian besar masyarakat akan lahirnya suatu orde yang lebih baik, yang kemudian disebut dengan Orde atau Era Reformasi. Sebagian ekspektasi tersebut dapat diwujudkan oleh elit politik, terutama dalam hal kebebasan berpolitik. Namun demikian, pembangunan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat tidak mengalami perbaikan signifikan, bahkan dalam beberapa hal mengalami kemunduran.
Khusus di era pemerintahan duet Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla (JK) sebagai presiden dan wakil presiden, terdapat beberapa tantangan serius, diantaranya: Pertama, kepemimpinan nasional sekarang tidak atau belum dapat bekerja efektif. Presiden SBY dinilai figur peragu dalam mengambil keputusan atau kebijakan, cenderung menebar pesona daripada kinerja, tidak berani mengambil resiko dan sebagainya.
Kedua, tingkat kesejahteraan masyarakat makin menurun. Hal ini dibuktikan dengan tetap tingginya angka kemiskinan, membludaknya angka pengangguran, buruknya pelayanan politik, kelangkaan minyak tanah (mitan), melambunganya harga-harga sembako dan sebagainya.
Ketiga, kinerja partai politik dan anggota parlemen makin jauh dari harapan. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya anggota parlemen yang diperkarakan secara hukum serta banyaknya anggota parlemen yang tidak berkualitas, tidak disiplin (banyak bolos, cendrung memperkaya diri sendiri) dan sebagainya. Jika dikalkulasi, menurut Idrus Marhan, Anggota DPR dalam desertasinya untuk meraih gelar Doktor di UGM, 60 persen Anggota DPR sekarang tidak berkualitas.
Keempat, secara sistem, mungkin demokrasi yang sekarang ini berkembang di Indonesia dapat dikategorikan sebagai sistem demokrasi liberal, meskipun bisa diberi label dengan apa saja, termasuk dinamakan sistem demokrasi Pancasila. Namun yang jelas, dalam prakteknya sudah demikian liberal sehingga banyak orang mengatakan sistem dan praktek demokrasi di Indonesia kini sudah kebeblasan.
Kelima, sebagai akibat dari keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang merevisi Pasal 124 dari UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR dan DPRD dan DPD, maka caleg terpilih pada 2009 tidak lagi berdasarkan nomor urut, melainkan suara terbanyak. Secara kasat mata, sistem ini terlihat demokratis dan berkeadilan. Namun jika dialami secara substansial, sistem ini mengandung implikasi negatif dimana sistem ini membuka peluang caleg terpilih hanya berkantong tebal atau mengendalikan popularitas.
Dalam politik Indonesia saat ini seolah popularitasnya menjadi dewa atau agama baru dan modal uang menjadi segala-galanya. Padahal yang tidak disadari adalah, jika caleg terpilih hanya bermodalkan popularitas dan uang, bukan tak mungkin mengakibatkan terjadinya ekonomisasi lembaga parlemen oleh wakil-wakil rakyat untuk kepentingan memperkaya diri sendiri, yang jauh dari kepentingan masyarakat.
Yang jelas, penetapan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak, telah mengakibatkan rivalitas antar caleg dalam meraih dukungan atau simpati dari masyarakat demikian tajam.

Momentum Pemilu 2009

Seperti telah disinggung, jalan untuk membangun konsolidasi demokrasi bukanlah hal yang ringan dan mudah ditaklukan. Apalagi harus diingat, terkadang tantangan tersebut justru datang dari orang atau kelompok-kelompok kepentingan yang berjuang untuk kepentingannya (ekonomi) namun dengan membonceng isu demokratisasi. Dalam situasi ini, kita memang harus pandai dan cermat terhadap elit politik dalam menilai mana elit politik yang benar-benar berjuang untuk menegakkan demokrasi, dan mana yang sekedar memanfaatkan isu demokratisasi namun dengan kepentingan pragmatis.
Sebagai bangsa dan masyarakat yang sudah bersepakat untuk memperbaiki bangsa ini melalui jalur demokrasi, maka instrumen Pemilu menjadi pilihan utamanya. Hal ini disebabkan karena Pemilu mempunyai fungsi untuk memperbaharui sistem politik, regenerasi wakil-wakil rakyat di parlemen, pendidikan politik masyarakat, dan juga suksesi kepemimpinan nasional (Pemilu Presiden). Karena itu, perbaikan sistem dan praktek demokrasi sangat ideal dimulai melalui jalur Pemilu 2009.
Sekali lagi, bangsa ini mempunyai kesempatan untuk memperbaiki kualitas bangsa ini, melalui jalan Pemilu. Kesempatan emas ini seyogianya tidak boleh diasia-siakan oleh masyarakat. Karena menunggu waktu lima tahun ke depan, merupakan jangka waktu yang lama. Lebih-lebih mengingat tantangan ke depan, termasuk krisis global, bisa membuat bangsa ini makin terpuruk.
Jika kita sepakat Pemilu menjadi instrumen untuk memperbaiki nasib bangsa, maka anjuran untuk memilih wakil-wakil rakyat yang bakal duduk di parlemen (DPR,DPRD dan DPD) haruslah orang yang mempunyai visi yang jauh ke depan, integritas pribadi yang kuat dan bersih, komitmen kerakyatan yang kuat, track record yang teruji dan sebagainya, suatu keniscayaan. Wallahu alam bissawab



Jakarta, 24 Januari 2009

Minggu, 16 November 2008

Profil Djafar Badjeber


Djafar Badjeber
Calon Legislatif No.1 Dapil III (Jakarta-Barat,Jakarta-Utara,Kep.Seribu)
Partai Hanura

D
jafar Badjeber lahir di Gorontalo, 10 November 1955 Memulai jenjang pendidikan dasar dan menengah pertama di Gorontalo dan dilanjutkan dengan nyantri di Pondok Pesantren Ngabar,Ponorogo,Jawa timur.Ayahnya Badjeber Osmarbey seorang aktivis Pergerakan Serikat Islam(SI) dan seorang politisi local yang pernah menjadi anggota legislatif di kabupaten Bolaangmongondow,sengaja menyekolahkan anaknya di pesantren agar Djafar mempunyai basis pendidikan agama yang kuat untuk bekal pergaulan politiknya kelak.Setelah lulus SLTA dan S1 di Jakarta,ia menyelesaikan Studi S-2 Jurusan Ilmu Administrasi STIAMI Jakarta 2003.

Talenta politiknya diasah dari tingkat yang paling bawah,dengan menjadi aktivis politik di lingkungan PPP,tepatnya di pengurus Anak Cabang (PAC) PPP Palmerah (1984-1989). Kemudian secara perlahan meningkat menjadi Ketua Bagian Pemuda PPP Jakarta Barat (1985-1990). Karir politiknya terus menanjak menjadi Wakil Ketua DPC PPP Jakarta Barat (1990-1995), Wakil Ketua DPW PPP DKI Jakarta (1995-1999), Ketua DPW PPP DKI Jakarta (1999-2002), selain pernah menjadi Sekjen Partai Bintang Reformasi (2002-2006). dan Wakil Ketua Umum DPP Partai Bintang Reformasi Selama 6 bulan, selanjutnya mengundurkan diri.

Di organisasi kepemudaan, ia memulai pergulatanya denga menjadi aktivis Pelajar Islam Indonesia (PII) sejak (1971-1974). Berlanjut dengan menjadi Wakil Sekretaris Gerakan Pemuda Kabah (GPK) pada 1984-1986, Ketua Generasi Muda Persatuan (GMP) DKI Jakarta (1986-1990), dan menjadi Sekjen Pimpinan Pusat Generasi Muda Pembangunan Indonesia (1993-1998), Wakil Ketua Umum Kornas Angkatan Muda Ka’bah(AMK) sejak 1999-2002. Ia juga menjadi Penasehat DPD KNPI DKI Jakarta pada 1987-1997, dan 3 kali menjadi formatur dalam Musda KNPI yang bertugas memilih dan menyusun kepengurusan DPD KNPI DKI Jakarta. 3kali menjadi formatur di dalam Musda KNPI DKI bukan perkara gampang, tapi figur Djafar Badjeber dapat dipercaya dan diterima oleh Generasi Muda saat itu, terutama Organisasi Kemasyarkatan Pemuda(OKP) non Golkar. Betapa tidak setiap Musda KNPI sangat sering di intervensi oleh sejalur ABG. Selain itu Djafar Badjeber pernah juga menjadi Ketua Pantia Pemilihan Daerah (PPD ) tingkat 1 DKI Jakarta 1999(Sekarang disebut KPU Provinsi DKI Jakarta). Di organisasi kemasyarakatan lainya dia juga pernah menjadi Ketua Umum Forum Komunikasi Solidaritas Bangsa Indonesia (FOKOSBI). Organisasi ini banyak berperan pada tahun 1998-1999 sehubungan dengan terjadinya transisi politik dan kerusuhan yang berbau etnis.
Selama menjadi Anggota DPRD DKI Jakarta dalam rentang waktu yang cukup panjang yakni : 1987-1992,1997-1999,1999-2002, ia dikenal sebagai politisi egaliter dan dekat dengan berbagai kalangan masyarakat dan konstituensinya. Kantornya di DPRD DKI Jakarta Kebon Sirih Jakarta Pusat maupun rumahnya di Jalan Panjang, Sukabumi Selatan, Jakarta Barat kerap ramai dikunjungi tamu dari berbagai kalangan masyarakat untuk berbagai keperluan dan kepentingan, dan hal tersebut diterima dengan ikhlas sebagai bagian esensial dari fungsinya sebagai wakil rakyat. Saat sedang menjabat menjadi Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta, banyak pihak tersentak dan menyesalkan atas sikap Djafar atas keputusanya mengundurkan diri sebagai Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta, tapi itulah Djafar Badjeber dia orangnya idealis, manakala sesuatu hal sudah bertentangan dengan Hati Nuraninya, kedudukan, jabatan, dan uang tidak dipedulikanya lagi. Baginya, sekalipun langit runtuh keadilan dan kebenaran harus ditegakan.

Djafar juga dikenal sebagai politisi bersih, kritis, ulung dan vocal dalam menyuarakan aspirasi rakyat dan menegakan pemerintahan yang baik dan bersih (Good and Clean Governance). Menurutnya, berdosa bila menjadi anggota legislatif tidak berbuat maksimal untuk kepentingan rakyat. Dia juga disegani dikalangan legislatif maupun eksekutif, bahkan pada periode ini(2004-2009) sebagian kawan-kawanya menyebut DPRD DKI tanpa Djafar Badjeber sepi dan hampir-hampir TUPOKSI dewan tidak maksimal. Di sela-sela kesibukanya, ia kerat menerima undangan berceramah,berdiskusi/seminar dari berbagai kalangan masyarakat.

Tentang keterlibatanya di Partai Hati Nurani Rakyat (HANURA), Djafar menyebut ada 3 alasan utama. Pertama Masalah idelalisme, KeduaVisi,misi,dan program Partai Hanura yang berorientasi kerakyatan, Ketiga Karna figure/ketokohan Wiranto yang visioner tegas,berani,dan berkarisma. Menurutnya reformasi tidak akan berhasil tanpa peran Wiranto sebagai pengaman dan pengawal reformasi. Jasa Wiranto terhadap negeri ini sangat besar, antara lain: Sikap TNI bahwa reformasi itu suatu kebutuhan yang tidak bisa dielakan,dan telah disuarakan oleh fraksi TNI di depan sidang paripurna Sidang Umum MPR 1998 pada penyampaian dengar pendapat akhir.Saat itu,jelas pernyataan seperti tiu cukup mengandung resiko politik dan memancing tanggapan yang beragam karena pada saat itu kehendak untuk melakukan perubahan politik masih dianggap tabu. Di era Wiranto daerah operasi militer (DOM) di aceh dicabut,beliau juga melakukan reformasi TNI seperti memisahkan TNI dan POLRI, keluarnya TNI dari politik praktis, menghapus Dwi fungsi TNI, netralitas TNI dalam Pemilu 1999, menghapus hubungan Golkar dan TNI/ABRI, melarang bisnis TNI serta memerintahkan dan memeriksa oknum-oknum TNI yang terlibat dalam penculikan aktivis.Walhasil menurut dia, Wiranto adalah manusia luar biasa, betapa tidak sudah diberikan oleh Soeharto IMPRES No.16 tahun 1998 yang merupakan penjabaran dari TAP MPR No.V/1998 tentang kewenangan khusus menghadapi keadaan kritis, (banyak pihak yang menyebut IMPRES ini semacam supersemar jilid 2), tapi Wiranto tidak memanfaatkan peluang itu untuk kepentingan dirinya. Bahkan dalam satu kesempatan Kassospol Letjen Susilo Bambang Yudhoyono, menanyakan kepada wiranto apakah akan mengambil alih pemerintahan ini, Wiranto menjawab “Tidak !”

Dalam posisinya Ketua DPP Hanura, menghadapi Pemilu 2009 Djafar Badjeber dipercayakan oleh HANURA sebagai caleg No.1 DPR RI untuk Daerah Pemilihan DKI Jakarta III (Jakarta-Barat,Jakarta-Utara,Kep.Seribu). Bila kelak terpilih menjadi anggota DPR RI, ia ingin menjadikan parlemen sebagai katalisator dan lokomotif memperjuangkan Hati Nurani Rakyat, Demokratisasi, Keadilan, dan Kesejahteraan.

Minggu, 26 Oktober 2008

Riwayat Hidup

Nama : H.Djafar Badjeber,M.Si

Tempat/tgl lahir : Gorontalo, 10 November 1955

Agama : Islam

Jenis kelamin : Laki-Laki

Status : Menikah

Pekerjaan : Swasta

Alamat :Jl.Panjang N0.42 RT002/003.
Kelurahan Sukabumi Selatan,
Kecamatan Kebon Jeruk,
Jakarta Barat 11560

Pendidikan :

• Strara 2, Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Mandala Indonesia
• Strata 1, Universitas Respati Indonesia
• Sekolah Menengah Atas, Jakarta
• Pondok PesantrenWali Songo, Ponorogo
• Sekolah Menengah Pertama, Gorontalo
• Sekolah Dasar, Gorontalo




Kursus/Penghargaan :
• Diklat Legal Drafting, Lembaga Administrasi Negara (LAN) 2001
• Loka Karya Operasionalisasi Konsepsi Ketahanan Nasional Bagi Pejabat Pemerintahan DKI Jakarta dan Praktisi Kampus, 1998/1999
• Penghargaan Komisi Pemilihan Umum (KPU) 1999
• Penghargaan Gubernur DKI Jakarta Mengikuti Orientasi Kewaspadaan Nasional, 1996
• Sertifikat Asosiasi Kontraktor Air Indonesia DKI Jakarta, 1998
• Piagam Penghargaan Orientasi Pengkaderan Nasional DPP PPP, 1988
• Piagam Penghargaan DPP PPP Mengikuti Orientasi Juru Kampanye Tingkat Nasional, 1997
• Piagam Penghargaan DPP PPP Mengikuti Seminar Kesejahteraan Pekerja,Upah Minimum Regional,dan Peningkatan Produktifitas, 1995
• Piagam Penghargaan Menteri Dalam Negeri Sebagai Peserta Orientasi Pembekalan Anggota DPRD hasil pemilu 1997
• Piagam Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, 1984
• Piagam Penghargaan Menteri Negara Pemuda dan Olahraga, 1990
• Tokoh Citra Mandiri Pria Wanita Indonesia dalam Era Globalisasi, 1999
• Piagam Penghargaan Sebagai Deklarator Generasi Muda Pembangunan Indonesia
• Piagam Penghargaan Sebagai Master Of Ceremony DPP Partai HANURA

Pengalaman Organisasi :
• Ketua DPP Partai HANURA, 2006 - Sekarang
• Wakil Ketua Umum DPP Partai Bintang Reformasi, April 2006-Desember 2006
• Sekjen DPP Partai Bintang Reformasi, 2002-2006
• Pendiri/Deklarator Partai Bintang Reformasi, 2002
• Sekjen Generasi Muda Pembangunan Indonesia DKI Jakarta, 1993-1998
• Deklarator Angkatan Muda Ka’bah 1998/Wakil Ketua Umum Angkatan Muda Ka’bah, 2001-2006
• Ketua DPW Partai Persatuan Pembangunan DKI Jakarta, 1999-2002
• Wakil Ketua DPW Partai Persatuan Pembangunan DKI Jakarta, 1995-2000
• Wakil Ketua DPC Partai Persatuan Pembangunan Jakarta Barat, 1990-1995
• Penasehat Muhammadiyah DKI Jakarta 2000-2005
• Penasehat ICMI DKI Jakarta, 2004-2005
• Ketua Generasi Muda Persatuan DKI Jakarta 1986-1993
• Ketua Generasi Muda Pembangunan Indonesia DKI Jakarta, 1994-1995
• Penasehat KNPI DKI Jakarta, 1987-1997
• Pelindung Yayasan Syarif Hidayatullah, 1991-1996
• Wakil Sekretaris Yayasan Pembinaan Olahraga Usia Pemula Indonesia (YAPOPI) DKI Jakarta, 1986-1991
• Majelis Pakar DEKOPINWIL DKI Jakarta, 1999-2004
• Ketua Departemen Pengembangan Sumber Daya Pemuda dan Remaja DPP PPP, 1994-1999
• Pembantu Umum PAC PPP Kecamatan Palmerah, 1982-1987

Jabatan :
• Anggota DPRD DKI Jakarta, 1987-1992
• Anggota DPRD DKI Jakarta, 1995-1997 (Pergantian antar waktu)
• Anggota DPRD DKI Jakarta, 1997-1999 (Merangkap Ketua Komisi B)
• Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta 1999-2004 ( Mengundurkan diri pada tahun 2002)
• Anggota MPR RI, 1987-1992
• Ketua Panitia Pemilihan Daerah (PPD I) DKI Jakarta, Pemilu 1999
• Panitia Pengawas Pemilu Jakarta Barat, 1992
• Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan Palmerah, 1987

Pekerjaan :
• Karyawan PT. Kincir Buana, 1984
• Direktur PT. Celebes Intim Perkasa, 1986
• Komisaris PT. Daya Muda Mandiri, 1992
• Komisaris PT. Sogo Arto Moro, 2001
• Komisaris PT. Artasetya Karyatama, 2008

Lain-lain :
• Ketua Panitia Anggaran DPRD DKI Jakarta, 1999-2002
• Ketua PANSUS berbagai hal di DPRD DKI Jakarta
• Formatur MUSDA KNPI DKI Jakarta sebanyak 3 periode
• Melakukan Kunjungan DPRD DKI Jakarta seluruh Provinsi
• Melakukan Kunjungan Studi Banding ke Singapura, Malaysia, Hongkong, Taiwan, Maroko, Perancis, Belgia, Belanda

Djafar Badjeber dengan Ali Sadikin


Saya dengan Ali Sadikin berdiskusi tentang DKI Jakarta

Rabu, 22 Oktober 2008

Kunjungan ke bantul


Saya berkunjung ke bantul tgl 27-5-2006 saat gempa bumi,foto didepan puing2 rumah pak surono.

Jumat, 12 September 2008

H.Djafar Badjeber, M.Si : Dibawah Bendera Hati Nurani Rakyat


Geliat Pemilihan Umum selalu membawa nuansa khusus bagi kalangan politisi. Paska transisi sistem pemerintahan (meskipun belum selesai), kehadiran partai baru kini bukan lagi hal yang baru bagi rakyat Indonesia. Walau sintesa ini masih butuh anti-tesa, maraknya partai baru seolah menjadi gambaran dari terbukanya sistem demokrasi di Indonesia.

Salah satu partai baru yang namanya segera mencuat adalah Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura). Partai ini dideklarasikan 21 Desember 2006 dengan mengusung nama besar Jenderal TNI (Purn) Wiranto yang mantan Panglima ABRI itu. Sejumlah nama tenar pun turut bergabung bersama partai ini. Dari mulai purnawirawan, Pengusaha, politisi, kalangan profesional, dan pesohor lainnya.

Keterlibatan mereka konon berlandaskan keinginan mengedepankan kembali hati nurani rakyat sebagai media pelayanan. Niat suci itu yang menggerakan sosok H. Dja’far Badjeber, M.Si, seorang politisi kawakan, untuk bergabung bersama partai ini. Nama Dja’far Badjeber bukan nama asing dikalangan politikus. Kiprahnya malang melintang di dunia politik sejak 20 tahun silam. “Saya tertarik bergabung dengan Hanura karena partai ini menitik beratkan pada hati nurani rakyat,” katanya saat ditemui di markas Hanura sore itu.
Bagi Putera Sulawesi Tengah dan Parigi Moutong ini mengedepankan hati nurani rakyat dalam berpolitik adalah harga mati. “Pilihan saya jatuhkan setelah mempelajari AD/ART Hanura. Selain pidato Pak Wiranto yang sejalan dengan visi saya,” akunya. Kehidupan perpolitikan Indonesia belakangan ini, dalam pandangannya, masih jauh dari muatan ideal sebuah partai. Hal itu terlihat dari pemenuhan janji politik saat kampanye lalu. Dirinya memberi contoh kelaparan yang terjadi di banyak tempat di Indonesia, situasi politik yang tidak menentu, kebutuhan meningkat, beban ekonomi dan biaya pendidikan ekonomi tinggi. Demikian juga dengan akses kesehatan yang belum terjangkau oleh seluruh masyarakat.
Lebih jauh Dja’far Badjeber mengatakan, keterpurukan Indonesia semakin lengkap ketika kemandirian sebagai negara yang berdaulat pudar. Indonesia sangat mudah didikte oleh negara lain yang memiliki modal kuat. “Kita lihat saja, hanya di Indonesia terjadi negara diberikan syarat oleh para investor,” katanya. Selain itu, lanjutnya, sebagai negara besar Indonesia dengan mudah diganggu bahkan oleh negara kecil. Bahkan bisa mengambil pulau yang menjadi bagian dari negara ini. Dalam kacamata Dja’far, disinilah bukti Indonesia tidak lagi memiliki kedaulatan dan kemandirian.
Karir politik Djafar Badjeber dimulai dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Di Partai berasas Islam inilah karir politiknya mengkilap. Dirinya dipercaya menjadi Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta periode 2000 – 2004, Ketua Komisi B DPRD DKI Jakarta, dan dipercaya menjadi anggota MPR RI. Pada pemilu 1999, Djafar Badjeber menjadi nahkoda terselenggaranya pemilihan umum pertama paska reformasi. Dirinya diangkat sebagai ketua Panitia Pemilihan Daerah (PPD) I DKI Jakarta. Sebagaimana diketahui Pemilu tahun 1999 menjadi pemilu pertama pada transisi demokrasi Indonesia.
Kiprah politiknya bersama PPP tidak berlangsung lama. Tahun 2000 dirinya bersama beberapa fungsionaris PPP lainnya menyatakan keluar dari Partai berlambang Ka’bah itu dan mendirikan Partai Bintang Reformasi bersama KH Zainuddin MZ. Saat itu Djafar Badjeber menjadi Sekretaris Jenderal periode 2000 – 2006. Sayang kisruh di dalam tubuh partai yang dibidaninya itu membuat dirinya kembali angkat kaki. “Idealisme saya tidak lagi sejalan dengan partai itu,” sesalnya.
Kini dayung politiknya terayun bersama Partai Hanura. Sebagai politikus yang kenyang dengan asam garam dunia perpolitikan ini, Djafar dipercaya sebagai Ketua Bidang Otonomi Daerah selain sebagai Kordinator Wilayah Sulawesi Tengah.
Menjadi politikus, apalagi menjadi wakil rakyat, bagi Djafar bukan hal yang main-main. Karena itu dia berharap partai-partai tidak lagi mengecewakan rakyat. “Hal ini sudah menjadi komitmen para elite Partai Hanura untuk tidak mengecewakan aspirasi masyarakat,” katanya. Dia mengatakan, saat ini sedang digodok sejumlah aturan dan syarat bagi para calon legislatif untuk melihat kualifikasi sesuai visi-misi partai. Untuk itu harus dibuat aturan yang jelas dan ketat terkait pencalonan itu. “Karena menjadi wakil rakyat itu amanah dan harus dipertanggungjawabkan kepada diri sendiri, masyarakat, dan Tuhan,” ujarnya.
Dia juga berpesan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk tidak “berjudi” tentang negara ini. “Saat memilih lihatlah reputasi dan track record-nya. Kita butuh orang yang tepat, kuat, tegas, berkarakter, dan memiliki kemampuan yang handal,” katanya. Bagi mereka yang ingin maju sebagai Presiden dia berpesan sebaiknya “mengukur baju” lebih dahulu. Diakuinya Partai Hanura sendiri memiliki seorang satrio piningit yang memiliki kelengkapan sebagai seorang pemimpin. “Saya belum sebut nama tapi yakinlah bahwa yang calon kami ini akan membawa kesejahteraan bagi Bangsa Indonesia,” katanya. Dirinya yakin Partai Hanura akan menjadi the raising star 2009. “Dari pergaulan saya dengan sang satrio piningit itu menyatakan bahwa dia memang orang yang tepat,” katanya.

Kepemimpinan partai
Dalam mewujudkan visi misi partai, Djafar Badjeber mengatakan, Partai Hanura memiliki pola kepemimpinan yang bernama STMJ, yaitu pertama sadar bahwa pemimpin mengemban amanah dari Tuhan Yang Maha Kuasa dan diperoleh karena dukungan rakyat; kedua tahu apa yang menjadi harapan dan keinginan rakyat; ketiga mau dan mampu mewujudkan harapan-harapan rakyat; keempat jaminan atas jabatan apapun amanat dari Tuhan Yang Maha Kuasa dan hanya digunakan untuk kemaslahatan rakyat.
“Sistem ini selalu dibawa oleh Ketua Umum kesetiap daerah sebagai langkah internalisasi kepemimpinan bagi para kader,” katanya. Sebagai partai organik Partai Hanura selalu mengutamakan inisiatif dari bawah. Hal ini terlihat ketika kreatifitas dan programnya muncul dari bawah, dari mulai keperluan sampai program. “Di Partai Hanura kita biarkan semua berkembang,” lanjutnya.
Dengan demikian upaya membuat Partai Hanura menjadi partai yang berkarakter dan perduli kepada masyarakat dapat terwujud. Dalam pengertiannya, partai berkarakter merupakan partai yang berbasis akar sehat dan hati nurani rakyat serta dikelola dan dipimpin oleh manusia-manusia yang baik. “Karena itu bagi siapapun yang mau masuk Partai Hanura harus memenuhi syarat. Terlebih bila sebagai pengurus,” katanya.
Partai berkarakter juga, menurut Djafar Badjeber, fungsionarisnya dikenal dan telah berbuat banyak bagi masyarakat dan konsekwen menjalan visi negara serta melindungi bangsa Indonesia secara keseluruhan serta tidak diskriminatif. Tidak membedakaan suku, agama, ras, golongan, status sosial, dan gender, sejalan dengan asas Partai yang Nasionalis Religius. Sebagai partai berkarakter, ketika ada pihak yang dirugikan maka dia harus berpihak kepada warga tersebut. Karena itu Partai Hanura dibangun dengan paradigma baru, yaitu tidak boleh terjebak pada partai yang ada sekarang. Dengan demikian Partai Hanura merupakan partai terbuka dan plural sebagaimana tertuang dalam nilai dasar perjuangan.
Menurutnya, Partai Hanura berupaya untuk tidak lagi mengecewakan rakyat yang membuat masyarakat apatis terhadap partai politik yang ada. “Kita harus benahi partai politik kita. Bukan justru ditinggalkan karena partai politik masih menjadi sarana mengartikulasikan serta mengagregasikan aspirasi masyarakat dan dijamin oleh konstitusi,” katanya.
Dan dia yakin dirinya bersama Partai Hanura akan membenahi negeri ini. “Inilah kalau parameternya hati nurani,” katanya.